Komisaris Utama PT. SOGI INDOMEDIA JAYA

Kisah Penguasa Gaib Tanah Jawa Menghadap Brawijaya di Lereng Gunung Lawu


BRAWIJAYA dalam artikel ini merujuk pada Bhre Kertabumi, Raja Keling Majapahit saat melakukan pengembaraan menuju puncak Gunung Lawu. Ketika sampai di lereng, penguasa gaib sebangsa jin demit atau dahyang Tanah Jawa menghadap Prabu Brawijaya.

Sebagai pengantar, Majapahit adalah negara besar yang terdiri dari negara-negara kecil, semacam konsep negara serikat. Raja Majapahit biasanya disebut Bathara ring Majapahit bergelar Mahaprabu, sedangkan raja negara bagian biasanya hanya bergelar Prabu.

Sebutan "brawijaya" merujuk pada raja saat menjadi mahaprabu Majapahit Raya. Ketika naik tahta menjadi Bathara ring Majapahit, Bhre Kertabhumi lebih dikenal sebagai Prabu Brawijaya V.

Perjalanan Bhre Kertabumi menuju Gunung Lawu ditemani dua punggawa setia, Arya Bangah dan Arya Gajah Para. Dalam kisah ini, Sabdo Palon dan Naya Genggong sebagai penasehat spiritual Bhre Kertabumi ikut dalam pengembaraannya.

Untuk sampai di Gunung Lawu, rombongan Raja Keling yang dirahasiakan itu melewati Gunung Wilis. Perjalanan mereka terus bergerak menuju arah barat, lalu singgah di pedukuhan kecil yang terletak di Lereng Pegunungan Lawu.

Meski menyamar sebagai petirthayatra (peziarah) biasa, pemimpin pedukuhan bernama Rama Dipa Manggala curiga. Bhre Kertabumi akhirnya menunjukkan jati diri, tetapi harus dirahasiakan.

Bhre Kertabumi akhirnya diantar menuju Gunung Lawu dan istirahat sejenak dengan dibangunkan gubug sederhana. Ia ditemani Ki Retawu, Ki Wangsa Manggala dan Jigja, putra Ki Wangsa Manggala.

Ketiganya membuat api unggun. Ketika Bhre Kertabumi keluar dari gubug dan hendak mendekati api unggun, tiba-tiba saja angin kencang dan berputar-putar disertai petir menyambar-nyambar pepohonan.

Lama-lama, kabut tebal mengelilinginya, lalu muncul banyak sosok manusia yang datang menghampirinya. Ternyata bukan, mereka yang hadir dipastikan adalah bangsa lelembut. Sosok mereka sangat banyak, menyebar dan duduk bersila menghaturkan sembah.

Ketika ditanya, sesosok makhluk berperawakan besar berambut gimbal dengan pakaian seperti raja menjawab.

"Nuwun agung ring pangaksama, Pukulun (mohon maaf yang sebesar-besarnya baginda). Nama hamba Ratu Manggala, penguasa Lawu."

Jawaban itu kemudian disusul jawaban satu per satu makhluk yang hadir menghadap Bhre Kertabumi.

"Nuwun agung ring pangaksama, Pukulun. Hampa penguasa Wilis, Tunggul Wulung nama hamba."

Makhluk-makhluk gaib lainnya saling mengenalkan diri, seperti Sidagori penguasa Wengker Kidul (sekarang Pacitan Jawa Timur), Si Koreb penguasa Wengker, Si Kala Sakti penguasa Gegelang (sekarang Madiun Jawa Timur), Sapujagat penguasa Jipang (sekarang Cepu, Blora Jawa Tengah), Si Lancuk penguasa Welorah (Blora).

Ada pula Macan Guguh penguasa Medhang Kamulan (Grobogan), Kalabrahala penguasa Lasem, Barat Katiga penguasa Simongan, Buta Salewah penguasa Pajang (Kartasura), Banjaransari penguasa Pengging (Banyudono, Boyolali), Mandamanda penguasa Mataram (tenggara Jogjakarta).

Hadir juga menghaturkan sembah, Ki Talapah penguasa Gunung Merapi, Ki Krama penguasa Gunung Damalung (Merbabu), Ni Rara Dhenok penguasa Glagah Wangi (Demak), Ki Wanengtaji penguasa Japara (Jepara), Citranaya penguasa Matahun.

Masih banyak lagi raja demit penguasa sekitar Gunung Lawu yang menghadap Brawijaya. Mereka adalah para raja danawa, raksasa, daitya dan makhluk halus lainnya. Dalam Islam disebut jin.

Ratu Manggala penguasa Lawu mewakili para raja demit lainnya mengatakan, kedatangannya untuk menyatakan kesetiaan mereka kepada Bhre Kertabumi. Mereka berjanji untuk mendukung anak keturunan Brawijaya agar kelak menjadi raja di Tanah Jawa.

Bhre Kertabumi sendiri kaget, karena ia sendiri belum menjadi raja. Menurut kabar yang diterima Ratu Manggala di alam loka (gaib) mereka, Bhre Kertabumi sebentar lagi akan menjadi Raja Majapahit.

"Para resi dari kalangan kami punya lontar yang berisi tentang ramalan tentang hal-hal yang akan terjadi di Tanah Jawa, pukulun. Pukulun juga lah yang nanti akan menjadi raja Majapahit pamungkas (terakhir)," kata raja lelembutnya Lawu itu.

Dijelaskan pula, anak keturunan Bhre Kertabumi dari rahim Dewi Wandan Kuning terutama yang akan dijaga. Dari putra itu, kelak akan lahir raja besar Tanah Jawa, tetapi tidak sebesar Majapahit.

Rajanya demit Lawu itu juga menjelaskan jika puncak Gunung Lawu tidak bisa dimasukinya. Sebab, mungkin banyak makhluk dewata yang menghuni kawasan gunung wingit tersebut.

Dalam pengetahuan Syiwa-Buddha (ajaran Hindu-Buddha), makhluk dewata berada di alam yang lebih tinggi. Mereka berada di alam Gana, alam yang diberkati Hyang Batara Shiwa sehingga dinamakan Siwaloka atau Istana Shiwa.
Dan makhluk yang hidup di alam yang lebih rendah seperti danawa dan raksasa atau orang Jawa menyebutnya "demit" atau "jin" untuk penyebutan bagi umat Islam, tidak bisa mendekat di wilayah yang dihuni makhluk dewata.

Sementara alam manusia berada di tengah-tengah. Baik bangsa denawa yang hidup di alam bawah maupun manusia, sama-sama tidak bisa melihat bangsa dewata yang hidup di alam atas. Mereka hidup di semesta yang sama, tetapi berbeda dimensi atau beda alam.

Redaksi historyofjava.com sedikit memberi catatan, cerita di atas sepertinya dibuat oleh pujangga-pujangga Mataram yang dituangkan dalam naskah serat maupun babad. Kisah ini sepertinya ingin memberikan legitimasi bahwa bertahtanya Panembahan Senopati sebagai Raja Mataram, sudah diramalkan jauh-jauh hari.

Legitimasi selanjutnya ingin menegaskan jika Panembahan Senopati adalah raja yang memiliki trah luhur dan mewarisi kebesaran leluhurnya, Prabu Brawijaya pamungkas Sang Maharaja Majapahit.

Selain itu, cerita dukungan para raja demit untuk menjaga anak keturunan Brawijaya dari rahim Dewi Wandhan Kuning juga menegaskan bahwa Raden Bondan Kejawan yang dijuluki "Lelajer Tanah Jawa" atau "Tonggak Bumi Jawa" begitu istimewa.

Raden Bondan Kejawan dikisahkan sebagai leluhur raja-raja Mataram yang memiliki darah luhur. Hal ini wajar mengingat sejarah tentang Jawa sebagian besar ditulis oleh para pujangga dari Keraton Mataram.

Lepas dari anggapan legitimasi tersebut, Mataram senyatanya memang bisa dibilang penerus Kerajaan Majapahit kendati tidak sebesar kekuasaan leluhurnya, Majapahit. Transisi Majapahit ke Demak dan Pajang, membuat Mataram mampu menjadi kerajaan yang mengolaborasikan antara Islam dan Jawa.

Jika Majapahit murni berlandaskan Hindu-Buddha sebagai representasi orang Jawa, Kerajaan Demak dan Pajang muncul menggantikan tatanan lama dan menjadi tatanan baru berlandaskan Islam murni. Sementara Mataram berdiri dengan pondasi Islam namun tetap mempertahankan nilai-nilai luhur Jawa.

Di sinilah tugas Kanjeng Sunan Kalijaga dalam menjaga anak keturunan Brawijaya dari istri Dewi Wandhan Kuning berhasil. Ajaran dan nilai-nilai yang diajarkan Kanjeng Sunan Kalijaga benar-benar menjadi landasan bagi ideologi dan falsafah negara Mataram. (*)

0 Response to "Kisah Penguasa Gaib Tanah Jawa Menghadap Brawijaya di Lereng Gunung Lawu"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel