Komisaris Utama PT. SOGI INDOMEDIA JAYA

Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Pertama di Indonesia Akan Segera Terwujud



Monitorjatim.com Jakarta - Indonesia Investment Authority (INA) yang merupakan Lembaga Pengelola Investasi (LPI) atau sovereign wealth fund (SWF) akan segera terwujud.

Kini pemerintah tengah menyeleksi calon dewan direksi dan dewan pengawas dari kalangan profesional yang akan menakhodai lembaga baru dan penting ini.

Presiden Joko Widodo (Jokowi) bahkan sudah memamerkan pembentukan lembaga bergengsi yang digadang-gadang bakal serupa dengan SWF milik Singapura: Temasek.

"Bulan ini telah terbentuk SWF, para gubernur harus tahu bahwa ini sebuah terobosan dalam rangka pembiayaan nasional," kata Jokowi saat membuka rapat terbatas bersama para menteri dan gubernur yang dilangsungkan secara telekonferensi di Istana Presiden, Rabu (6/1) lalu.

Bukan sembarang lembaga baru, SWF memegang peranan penting dalam memenuhi tingginya kebutuhan pembiayaan pembangunan nasional di masa depan.

Maklum, mengandalkan pembiayaan dari BUMN kian sulit karena terbatasnya kapasitas. Sementara pilihan menarik utang luar negeri juga sebisa mungkin dihindari mengingat rasio utang pemerintah terhadap produk domestik bruto (PDB) terus meningkat.

"Adanya SWF akan menambah instrumen pembiayaan yang ada," ujar Jokowi.

Tak heran bila lembaga baru yang terlahir dari amanat Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja (UU Ciptaker) ini sangat dinantikan pemerintah. Bahkan, belum lagi susunan direksi lembaga ini terbentuk, pemerintah sudah gencar menjaring minat investor asing untuk menempatkan dananya di SWF.

Lewat lawatan yang dipimpin Menko Maritim dan Investasi Luhut Binsar Panjaitan, pemerintah mengklaim telah berhasil menarik komitmen investasi dari sejumlah investor asing, seperti dari Amerika Serikat, Kanada, Jepang, dan negara-negara Timur Tengah.

Komitmen investasi dari mitra asing itu cukup besar. Sebut saja Canada Pension Fund yang berkomitmen menempatkan dana di INA US$ 2 miliar.

Komitmen serupa juga datang dari United States International Development Finance Corporation ( IDFC) senilai US$ 2 miliar. Sementara Japan Bank for International Cooperation (JBIC) menaruh komitmen investasi US$ 4 miliar.

"Ini menunjukkan pembentukan SWF Indonesia mendapat respons positif dari para investor," ujar Luhut.

Gerak cepat

Mendapat respons positif makin memacu semangat pemerintah membentuk SWF. Tak mau menyia-nyiakan waktu, pemerintah bergerak cepat menerbitkan tiga aturan turunan UU Ciptaker sebagai payung hukum pembentukan SWF.

Yakni, Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 73 Tahun 2020 tentang Modal Awal LPI, PP Nomor 74 Tahun 2020 tentang LPI, dan Keputusan Presiden Nomor 128/P Tahun 2020 tentang Pembentukan Panitia Seleksi Pemilihan Calon Anggota Dewan Pengawas LPI dari Unsur Profesional.

PP 73, misalnya, menetapkan ekuitas awal lembaga baru ini sebesar Rp 75 triliun dengan penyertaan modal awal sebesar Rp 15 triliun yang bersumber dari APBN 2020. Selain penyertaan modal negara dalam bentuk tunai, ekuitas tersebut juga berbentuk aset BUMN, barang milik negara (BMN), hingga piutang pemerintah.

Sementara PP 74 tentang LPI mengatur mengenai tata kelola dan operasionalisasi LPI yang diadaptasi dari praktik-praktik lembaga sejenis yang memiliki reputasi terbaik di dunia, yang mengedepankan prinsip independensi, transparansi, dan akuntabilitas.

Soal tata kelola ini, SWF Indonesia mirip dengan Temasek yang bergerak di bawah dekapan menteri keuangan sebagai ketua dewan pengawas yang mewakili negara.

Dewan pengawas inilah yang berhak mengganti atau mengangkat dewan direktur INA. Sementara, yang berwenang mengangkat dan memberhentikan anggota dewan pengawas adalah presiden.

Dilihat dari struktur tersebut, tampaklah hubungan presiden dan manajemen INA sangat kuat, mengingat presiden adalah satu-satunya orang yang persetujuannya dibutuhkan untuk mengganti atau mengangkat dewan pengawas INA.

Selain menteri keuangan, dewan pengawas juga diisi menteri BUMN sebagai anggota. Lalu, tiga orang lainnya berasal dari kalangan profesional. Nantinya dewan pengawas akan dilengkapi satu sekretariat dan beberapa komite seperti komite audit, komite etik, komite renumerasi, dan lainnya.

Sedangkan dewan direksi yang terdiri dari lima orang akan didukung beberapa komite, seperti komite investasi, komite pemantau risiko, dan lainnya. Bila diperlukan, PP 74 juga membolehkan LPI membentuk dewan penasihat untuk memberikan saran mengenai kebijakan investasi kepada dewan direktur.

Seluruh manajemen ini akan melaporkan langsung kepada presiden, ujar Direktur Jenderal Kekayaan Negara (DJKN) Kementerian Keuangan, Isa Rachmatarwata.

Nah, berdasarkan Keppres No. 128 kini telah dibentuk panitia seleksi (pansel) yang sekarang sedang bekerja untuk mendapatkan calon anggota dewan pengawas INA dari unsur profesional yang selanjutnya disampaikan kepada presiden. Hasilnya ditargetkan keluar dalam waktu dekat.

Bila struktur organisasi mirip dengan Temasek, cara kerja SWF Indonesia lebih mendekati SWF milik Rusia yang bernama Russian Direct Investment Fund (RDIF).

Selain mengandalkan sumber dana dari internal pemerintahan, RDIF juga aktif mengumpulkan dana dari dalam dan luar negeri, termasuk dana investasi dari badan-badan usaha luar negeri dan domestik.

Dana yang terkumpul kemudian dipakai buat membiayai kegiatan investasi pemerintah pusat, seperti investasi di infrastruktur fisik, sektor energi, kesehatan, pariwisata, dan lain-lain. Jadi itulah tujuannya, mirip dengan Russian Direct Investment Fund, ujar Isa.

Dalam kegiatan mengelola investasi, SWF tetap dituntut menghasilkan imbal hasil finansial demi terciptanya iklim investasi yang tetap kondusif.

Prinsipnya, INA akan berperan sebagai mitra investasi bagi badan usaha lain, baik swasta domestik dan internasional dengan membentuk perusahaan patungan atau sejenisnya yang bersifat jangka panjang.

Di sinilah kita ingin menarik pemodalan yang sifatnya panjang, 20 tahun30 tahun, ujar Arief Budiman, Tim Pengkaji Pembentukan SWF.

Dalam operasionalnya, INA bebas melakukan penempatan dana, pengelolaan aset, kerjasama, menentukan mitra investasi, menerima dan memberikan pinjaman.

Dalam hal penempatan dana, pemerintah sudah menetapkan beberapa proyek infrastruktur strategis yang akan ditawarkan kepada mitra investor, seperti jalan tol, bandara, pelabuhan, ibukota baru dan sektor potensial lain, seperti kesehatan, pariwisata, dan teknologi.

"Di tahap awal ini kita pilih beberapa proyek itu," terang Arief.

Proyek tersebut ada yang kategori investasi baru dan pengelolaan aset BUMN. Imbal hasil yang didapat dari aktivitas investasi itu sebagian dicadangkan mengingat sifat investasi yang volatil.

Berkaca dari pengalaman negara lain, bakal ada penyisihan laba mulai 10% hingga 50% dari total laba yang diakumulasikan untuk mengantisipasi fluktuasi. Sisanya itu yang nanti akan diinvestasikan kembali, jelas Arief.

Potensi besar

Pemerintah sendiri menargetkan INA bisa mengumpulkan dana investasi hingga Rp 225 triliun. Namun, dalam simulasi Kementerian BUMN, dana investasi yang dikelola INA bisa jauh lebih besar dari itu.

Bahkan, dana kelolaan INA diestimasikan bisa mencapai US$ 500 miliar sampai US$ 600 miliar atau sekitar Rp 7.072,5 triliun hingga Rp 8.487 triliun (kurs Rp14.145/US$).

Simulasi itu didasarkan dari sisi aset BUMN yang memiliki portofolio lebih dari Rp 8.000 triliun, melebihi aset pemerintah yang Rp 6.600 triliun.

Nilai itu setara atau lebih besar dari Temasek Holding milik Singapura. Bahkan, lebih besar dari Khazanah Nasional milik Malaysia dan sekelas dengan Abu Dhabi Investment Authority (ADIA).

Sebagai informasi, berdasarkan data yang dirilis oleh Sovereign Wealth Fund (SWF) Institute, pada 2020 ADIA memiliki total nilai aset sebesar US$ 579,621 miliar atau setara Rp 8.198,7 triliun.

Selama ini banyak perusahaan BUMN memiliki aset yang besar tapi tidak dimaksimalkan dalam menarik investasi, ujar Arya Sinulingga, Staf Khusus Menteri BUMN.

Namun demikian, pemerintah tetap akan memilah aset BUMN yang akan dikerjasamakan dengan investor. Aset-aset strategis yang menguasai hajat hidup orang banyak tidak diinbreng atau dijadikan penyertaan modal.

Kalau pun bisa, bentuknya hanya kuasa kelola dan itu pun harus dipastikan bahwa INA menjadi penentu kebijakan strategi dalam berbagai kerjasamanya.

Bagi BUMN sendiri, skema SWF dinilai cukup menguntungkan. Sebab, SWF bisa menjadi sumber pendanaan baru untuk proyek-proyek yang dikerjakan BUMN, terutama di bidang infrastruktur. Metode ini otomatis menurunkan utang dan beban operasional karena BUMN tidak harus menarik pinjaman atau menerbitkan surat utang dalam pembangunan infrastruktur, ungkap Arya.

Namun demikian, seiring dengan besarnya potensi dana kelolaan, akan banyak pula risiko yang dihadapi oleh SWF. Dengan menerapkan sistem kontrak pengelolaan dana, risiko utama yang sangat mungkin terjadi adalah tingkat imbal hasil dana investasi.

"Tentu ada tingkat pengembalian yang ingin diharapkan dari investor yang menanamkan uangnya di SWF," jelas Tauhid Ahmad, Direktur Eksekutif Indef.

Maka itu, butuh transparansi terkait kriteria proyek yang bisa didanai. Transparansi juga dibutuhkan karena bukan mustahil beberapa pendanaan tidak bisa dilaporkan secara rutin, baik faktual maupun anual (tahunan), sehingga dapat menimbulkan risiko keuangan. (EditorMj)

0 Response to "Lembaga Pengelola Investasi (LPI) Pertama di Indonesia Akan Segera Terwujud"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 1

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel