Kebijakan Ekonomi Berdasarkan Sumber Penghasilan Negara Dari Sektor Tambang, Pertanian/Perkebunan Dan Kelautan Bukan Dari Pajak Masyarakat
Lumajang,monitorjatim.com-Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menargetkan penerimaan negara dari pajak penghasilan (PPh) meningkat pada 2026, setelah diperkirakan akan terkontraksi 1 persen pada 2025.
Pertamina sebagai perusahaan BUMN (Badan Usaha Milik Negara) memiliki peran penting dalam perekonomian Indonesia. Untuk meningkatkan keterlibatan masyarakat dalam kepemilikan saham Pertamina :
1. Penawaran Saham Publik: Melakukan penawaran saham perdana (IPO) untuk masyarakat umum.
2. Program Saham untuk Masyarakat: Membuat program khusus untuk masyarakat menengah ke bawah, seperti pembelian saham dengan harga diskon atau cicilan.
3. Kemitraan dengan Institusi Keuangan*: Bekerja sama dengan bank atau lembaga keuangan untuk memfasilitasi pembelian saham oleh masyarakat.
4. Edukasi dan Transparansi: Meningkatkan edukasi masyarakat tentang investasi saham dan transparansi keuangan Pertamina.
Presiden bisa mempertimbangkan kebijakan untuk:
1. Mengatur kuota saham: Untuk masyarakat menengah ke bawah.
2. Mengalokasikan dana: Untuk mendukung program kepemilikan saham masyarakat.
3. Mengawasi implementasi: Untuk memastikan kebijakan berjalan efektif.
Menteri Keuangan memiliki peran penting dalam mengembangkan kebijakan ekonomi yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan pendapatan negara.
Kebijakan Pajak yang Adil
1. Pajak yang progresif*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan pajak yang progresif untuk memastikan bahwa orang kaya membayar pajak yang lebih tinggi daripada orang miskin.
2. Insentif pajak*: Menteri Keuangan dapat memberikan insentif pajak untuk mendorong investasi dan pertumbuhan ekonomi.
Investasi Asing
1. Meningkatkan investasi asing*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan investasi asing di Indonesia.
2. Kerja sama internasional*: Menteri Keuangan dapat bekerja sama dengan negara-negara lain untuk meningkatkan investasi dan perdagangan.
Penghasilan Negara dari Sektor Tambang Minyak Bumi
1. Pengelolaan sumber daya alam*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan untuk mengelola sumber daya alam dengan efektif dan efisien.
2. Pendapatan negara*: Menteri Keuangan dapat meningkatkan pendapatan negara dari sektor tambang minyak bumi dengan mengembangkan kebijakan yang tepat.
Usaha Produksi dengan Teknologi Tinggi
1. Meningkatkan produktivitas*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan produktivitas dan efisiensi usaha produksi dengan teknologi tinggi.
2. Dukungan untuk inovasi*: Menteri Keuangan dapat memberikan dukungan untuk inovasi dan pengembangan teknologi tinggi.
Mendorong Usaha Jasa dan Ekonomi Kreatif
1. Meningkatkan usaha jasa*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan untuk meningkatkan usaha jasa dan ekonomi kreatif.
2. Dukungan untuk kreativitas*: Menteri Keuangan dapat memberikan dukungan untuk kreativitas dan inovasi dalam usaha jasa dan ekonomi kreatif.
Peran penting dalam mendorong pertumbuhan ekonomi nasional dan mengelola inflasi.
Peran Menteri Keuangan
1. Mendorong pertumbuhan ekonomi: Menteri Keuangan dapat mendorong pertumbuhan ekonomi dengan mengembangkan kebijakan fiskal yang mendukung investasi, konsumsi, dan ekspor.
2. Mengelola inflasi*: Menteri Keuangan dapat mengelola inflasi dengan mengembangkan kebijakan moneter dan fiskal yang tepat untuk mengontrol harga dan meningkatkan stabilitas ekonomi.
Evaluasi Barang dan Jasa
1. Evaluasi kebijakan*: Menteri Keuangan dapat melakukan evaluasi kebijakan untuk memastikan bahwa kebijakan yang dikembangkan efektif dalam mendorong pertumbuhan ekonomi dan mengontrol inflasi.
2. Pengembangan kebijakan*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan mengontrol inflasi, seperti kebijakan fiskal yang mendukung investasi dan konsumsi.
Sektor Pajak
1. Sumber pendapatan*: Sektor pajak merupakan salah satu sumber pendapatan negara yang penting.
2. Pengembangan kebijakan pajak*: Menteri Keuangan dapat mengembangkan kebijakan pajak yang adil dan efektif untuk meningkatkan pendapatan negara dan mendukung pertumbuhan ekonomi.
Pendekatan yang Berbeda
1. Pendekatan holistik*: Menteri Keuangan dapat menggunakan pendekatan holistik dalam mengembangkan kebijakan ekonomi, dengan mempertimbangkan berbagai faktor yang mempengaruhi pertumbuhan ekonomi dan inflasi.
2. Kerja sama dengan stakeholder*: Menteri Keuangan dapat bekerja sama dengan stakeholder lain, seperti pemerintah daerah, swasta, dan masyarakat sipil, untuk mengembangkan kebijakan yang efektif dan mendukung pertumbuhan ekonomi
Kalau penyelesaian membrantas kemiskinan dan kebodohan seperti sekarang sampai 100 th Indonesia tetap miskin dan bodoh..biangkeroknya birokrasi yg dipermainkan pengusaha serakah kedaulatan rakyat digadekan oleh Partai..perlu dirubah sistem keterwakilan di parlemen..suara rakyat belum nyata..masih jadi hantu hantu Parlemen .hukuman pengkhianat negara dan koruptor di setiap bulan Agustus di ampuni.seharusnya negara menambah hukumannya sampai hukuman seumur hidup.untuk memberantas kemiskinan dan kebodohannya di Indonesia.perlu diserahkan/ ditangani dng operasi militer dng cara humanis dan beradab.tidak lagi ditangani birokrasi yg selama ini tidak pernah beres baik dari sisi data dan pengguna anggaran yg besar . hasilnya tanpa kemajuan yang berarti
Penyelesaian masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia :
1. Birokrasi dan Pengusaha Serakah: Peran birokrasi yang tidak efektif dan pengusaha serakah yang memanfaatkan celah untuk keuntungan pribadi memang menjadi salah satu penyebab utama masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia. Sistem yang korup dan tidak transparan dapat menghambat upaya pemerintah dalam menangani masalah ini.
2. Keterwakilan di Parlemen: Sistem keterwakilan di parlemen yang tidak efektif dapat menyebabkan suara rakyat tidak didengar dan tidak diwakili dengan baik. Perlu ada reformasi dalam sistem politik untuk memastikan bahwa suara rakyat didengar dan diwakili dengan baik.
3. Hukuman bagi Koruptor: Hukuman yang lebih berat bagi koruptor dapat menjadi salah satu cara untuk mencegah korupsi dan meningkatkan kesadaran akan pentingnya integritas dalam pemerintahan. Hukuman seumur hidup dapat menjadi salah satu opsi untuk kasus-kasus korupsi yang berat.
4. Operasi Milter Humanis: Pendekatan operasi militer humanis dapat menjadi salah satu cara untuk menangani masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia. Namun, perlu dipastikan bahwa pendekatan ini dilakukan dengan cara yang beradab dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Beberapa langkah yang dapat diambil untuk menangani masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia adalah:
1. Reformasi Birokrasi: Melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan efektivitas dan transparansi dalam pemerintahan.
2. Peningkatan Kualitas Pendidikan: Meningkatkan kualitas pendidikan di Indonesia dengan meningkatkan aksesibilitas dan kualitas pendidikan bagi semua lapisan masyarakat.
3. Pengentasan Kemiskinan: Melakukan program-program pengentasan kemiskinan yang efektif dan berkelanjutan, seperti program bantuan sosial dan pelatihan keterampilan.
4. Peningkatan Partisipasi Masyarakat: Meningkatkan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan dan pembangunan untuk memastikan bahwa suara rakyat didengar dan diwakili dengan baik.
Dengan melakukan langkah-langkah tersebut, kita dapat meningkatkan efektivitas dalam menangani masalah kemiskinan dan kebodohan di Indonesia.
Ciri utama jalan negara menuju kebangkrutan dapat dilihat dari beberapa indikator.
Ciri Utama
1. Pajak yang tidak adil: Negara tidak menetapkan pajak progresif bagi orang berpenghasilan tinggi, tetapi justru membebani orang miskin dengan pajak yang tinggi.
2. Birokrasi yang tidak efektif: Birokrasi yang kerja monoton dan seremonial tanpa bekerja secara efektif untuk menyelesaikan masalah dan mencari solusi untuk kemajuan usaha masyarakat.
3. Kurangnya peran negara: Negara tidak mengambil peran utama dalam mengembangkan ekonomi dan menciptakan peluang usaha bagi masyarakat.
4. Ketergantungan pada sumber daya alam: Negara terlalu bergantung pada penjualan sumber daya alam, seperti hasil tambang dan laut, tanpa diversifikasi ekonomi yang memadai.
5. Prioritas pada pajak: Negara memprioritaskan target pajak dari usaha perorangan, tanpa memperhatikan kemampuan masyarakat untuk membayar pajak.
Akibat
1. Kebangkrutan: Negara mengalami kesulitan keuangan dan menuju kebangkrutan.
2. Kemiskinan: Masyarakat mengalami kemiskinan dan kesulitan untuk memenuhi kebutuhan dasar.
3. Ketergantungan pada bantuan: Negara menjadi tergantung pada bantuan luar negeri dan tidak dapat mandiri dalam mengelola ekonominya.
Solusi
1. Pajak progresif: Negara perlu menetapkan pajak progresif bagi orang berpenghasilan tinggi untuk meningkatkan pendapatan negara dan mengurangi kesenjangan ekonomi.
2. Reformasi birokrasi: Negara perlu melakukan reformasi birokrasi untuk meningkatkan efektivitas dan efisiensi pemerintahan.
3. Pengembangan ekonomi: Negara perlu mengembangkan ekonomi dengan menciptakan peluang usaha bagi masyarakat dan meningkatkan kemampuan penghasilan masyarakat.
4. Diversifikasi ekonomi: Negara perlu melakukan diversifikasi ekonomi untuk mengurangi ketergantungan pada sumber daya alam dan meningkatkan kemampuan ekonomi negara. Kebijakan fiskal yang adil. : Negara perlu memiliki kebijakan fiskal yang adil dan tidak membebani masyarakat dengan pajak yang terlalu tinggi
Empati Menteri Ekonomi, Akankah Muncul di Negeri Ini?
Di tengah suasana perayaan kemerdekaan tahun ini, masyarakat ramai membahas berbagai isu yang menggambarkan kondisi negeri. Di antara yang paling banyak menyita perhatian adalah soal pajak.
Bagaimana tidak, penguasa di negeri ini tak henti-hentinya membuat kebijakan yang semakin menekan rakyat. Kini, hampir segala sesuatu serba kena pajak. Bahkan beredar postingan satir bergambar menteri ekonomi dengan pose serius, dikelilingi daftar aneka jenis pajak. Di salah satu sudut gambar, ada tulisan besar: “Ada ide apa lagi yang bisa dipajakin?” — sebuah kritik keras terhadap kerakusan negara dalam menarik pajak.
Lebih ironis lagi, baru-baru ini muncul pernyataan kontroversial dari sang menteri ekonomi. Ia menyamakan zakat, wakaf, dan pajak. Menurutnya, dalam harta kita ada hak orang lain, dan pajak pun pada akhirnya dikembalikan untuk kepentingan rakyat.
Sekilas terdengar meyakinkan. Tetapi pernyataan itu keliru besar, baik dari sisi hukum Islam maupun dari realitas yang terjadi.
Zakat, Wakaf, dan Pajak: Jelas Berbeda
Dalam Islam, zakat adalah kewajiban syariat yang termasuk rukun Islam. Allah berfirman:
“Ambillah zakat dari sebagian harta mereka, dengan zakat itu kamu membersihkan dan mensucikan mereka.” (QS. At-Taubah: 103)
Zakat hanya diwajibkan atas kaum Muslim yang telah mencapai nisab dan haul tertentu, dengan kadar tertentu. Penerimanya pun telah jelas, yakni delapan golongan (asnaf) sebagaimana disebutkan dalam QS. At-Taubah: 60: fakir, miskin, amil zakat, muallaf, budak, orang berhutang, fi sabilillah, dan ibnu sabil.
Wakaf berbeda lagi. Ia adalah sedekah jariyah yang ditahan pokok hartanya, sementara manfaatnya disalurkan untuk kepentingan umum atau khusus sesuai syariat. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Apabila manusia meninggal dunia, terputuslah amalnya kecuali tiga perkara: sedekah jariyah, ilmu yang bermanfaat, dan anak shalih yang mendoakannya.” (HR. Muslim)
Sedangkan pajak, apalagi dalam sistem kapitalis-sekuler hari ini, bukanlah syariat. Ia adalah kewajiban yang dipaksakan negara atas rakyat untuk menutupi belanja pemerintah, bahkan sering kali untuk hal-hal yang tidak ada hubungannya dengan kepentingan rakyat.
Maka, menyamakan zakat, wakaf, dan pajak adalah bentuk pengaburan pemahaman umat. Zakat dan wakaf bersumber dari syariat Allah, sedangkan pajak adalah produk sistem ekonomi kapitalistik.
Realitas: Pajak untuk Rakyat atau untuk Pejabat?
Masyarakat hari ini semakin cerdas. Mereka tahu kemana uang pajak itu lebih banyak mengalir. Tidak sedikit laporan lembaga independen yang mengungkap bagaimana uang rakyat justru bocor dalam praktik korupsi.
Menurut data Indonesia Corruption Watch (ICW), sepanjang tahun 2023 saja terjadi ratusan kasus korupsi dengan kerugian negara mencapai belasan triliun rupiah. Dari kasus besar seperti korupsi pajak Rp 78 triliun hingga korupsi bansos, semuanya memperlihatkan bahwa pajak lebih banyak dinikmati segelintir elit.
Tidak heran muncul postingan kreatif di media sosial yang membandingkan “8 golongan penerima zakat” dengan “8 golongan penerima pajak.” Jika zakat ditujukan untuk fakir miskin dan kaum dhuafa, maka pajak justru lebih sering mengalir pada pejabat, keluarga pejabat, kroni, pengusaha besar, proyek mercusuar, cicilan utang luar negeri, hingga subsidi korporasi asing.
Mengapa Empati Menteri Begitu Mahal?
Tulisan di sebuah media mainstream sempat memancing perhatian: “Dicari: Empati Menteri Ekonomi.” Judul yang sederhana, tapi menyentil hati rakyat. Sebab sejak lama, para menteri di negeri ini sering membuat kebijakan dan pernyataan yang menyakiti rakyat. Mereka tampak asyik bersenang-senang menikmati fasilitas mewah, sementara rakyat berjuang keras untuk sekadar menyambung hidup.
Lalu, pertanyaan besar pun muncul: Akankah empati para menteri ini lahir di negeri ini?
Empati dalam Pandangan Islam
Dalam pandangan Islam, jabatan bukanlah sekadar kursi kekuasaan. Ia adalah amanah besar yang kelak akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah. Rasulullah ﷺ bersabda:
“Imam (pemimpin) adalah pengurus rakyat, dan dia akan dimintai pertanggungjawaban atas rakyatnya.” (HR. Bukhari dan Muslim)
Kalimat ini sederhana, tetapi maknanya amat dalam. Seorang pemimpin sejati tidak hanya memikirkan kepentingan elit, tetapi justru mengarahkan hatinya kepada mereka yang paling kecil, paling lemah, dan seringkali tak terdengar suaranya.
Itulah yang dipraktikkan para khalifah dalam sejarah Islam. Umar bin Khaththab r.a. misalnya, terkenal dengan rasa takutnya kepada Allah dalam mengurus rakyat. Beliau pernah berkata:
“Jika ada seekor keledai terperosok di jalan, niscaya aku akan ditanya oleh Allah mengapa aku tidak meratakan jalan itu.”
Ungkapan ini bukanlah sekadar retorika, melainkan gambaran nyata bagaimana seorang khalifah memandang amanah kepemimpinan. Bahkan binatang pun masuk dalam lingkup tanggung jawabnya, apalagi manusia.
Umar dan Kebijakan untuk Ibu Menyusui
Suatu malam, Umar keluar melakukan ronda, memastikan keadaan rakyatnya. Di tengah perjalanan, ia mendengar tangisan bayi dari sebuah rumah. Umar pun mengetuk pintu, lalu bertanya kepada sang ibu mengapa bayinya terus menangis.
Dengan suara lemah, sang ibu menjawab, “Aku sedang mencoba menyapihnya lebih cepat. Sebab negara hanya memberikan tunjangan kepada anak yang sudah selesai masa penyapihan.”
Umar terdiam, hatinya bergetar. Ia sadar, kebijakan yang ada justru membuat para ibu terpaksa menghentikan ASI lebih cepat, hanya demi mendapatkan tunjangan. Bayi-bayi menjadi korban, dan itu berarti ia sebagai khalifah ikut menanggung dosanya.
Malam itu Umar menangis. Ia merasa berdosa, berdoa agar Allah mengampuninya karena telah menetapkan kebijakan yang menyulitkan rakyat.
Keesokan harinya, Umar segera mengubah aturan. Ia menulis surat kepada seluruh amilnya:
“Janganlah kalian terburu-buru membuat anak-anak berhenti menyusu, karena kami menetapkan tunjangan bagi mereka sejak lahir.”
(HR. Abu ‘Ubaid dalam Al-Amwāl)
Betapa indahnya empati seorang pemimpin yang hadir bukan dalam kata-kata manis, tetapi dalam kebijakan nyata yang menyentuh kehidupan rakyat hingga ke dapur mereka.
Negara yang Benar-benar Mengurus Rakyat
Sejarah pun mencatat, ketika sistem Islam diterapkan, rakyat tidak pernah diperas dengan pajak seperti hari ini. Baitul Mal, kas negara dalam Islam, terisi dari pos-pos syariat yang sah: ghanimah, fa’i, kharaj, jizyah, zakat, serta pengelolaan sumber daya alam oleh negara untuk kepentingan umat.
Dengan sistem ini, negara tidak menjadikan rakyat sebagai sapi perah. Sebaliknya, negara hadir sebagai pelindung, pengurus, dan penanggung jawab urusan umat.
Karena itu, jelaslah: empati sejati dari para pemimpin hanya akan lahir bila negeri ini kembali kepada aturan Islam secara kaffah. Selama hukum dan kebijakan masih dibangun di atas sistem kapitalistik, empati hanya akan menjadi jargon kosong, yang tak pernah benar-benar hadir di tengah rakyat.
Rabu 20 Agustus 2025
Lumajang Jatim
Sumber : BudiSuprayitno
0 Response to "Kebijakan Ekonomi Berdasarkan Sumber Penghasilan Negara Dari Sektor Tambang, Pertanian/Perkebunan Dan Kelautan Bukan Dari Pajak Masyarakat"
Posting Komentar