159 Tahun Jejak Budaya, Kirangan Tumben Jadi Warisan Hidup Desa Tukum
Dari titik start, peserta berjalan beriringan menuju Pendopo Mangundiharjo, pusat pemerintahan desa sekaligus panggung utama. Namun langkah mereka tidak sekadar olahraga. Di barisan tengah, lima gunungan jolen mewakili dusun: Pandansari, Pandanwangi, Krajan, Tukum Kidul, dan Munder, menegaskan makna syukur dan gotong royong.
Gunungan berisi padi, jagung, sayur, dan buah, berdiri megah layaknya menara kehidupan. Filosofinya sederhana, yaitu bumi memberi tanpa pamrih, manusia harus menjaga dengan syukur. Perebutannya di halaman pendopo nanti menjadi klimaks, saat warga meyakini setiap helai daun yang terbawa pulang adalah doa dan restu.
“Kirangan Tumben bukan hanya jalan sehat. Ini adalah napak tilas budaya. Jalan sehat untuk raga, gunungan untuk jiwa, dan pawai seni untuk identitas,” ujar Kepala Desa Tukum, Susanto (Cak Santo) dengan penuh keyakinan.
Uniknya, warga tampil dengan busana ala tempo dulu. Lelaki berikat kepala lurik, perempuan berkebaya klasik, anak-anak berselendang jarit. Desa Tukum seolah berpindah ke lorong waktu, kembali ke suasana 159 tahun silam, menghidupkan kembali kenangan ketika tradisi ini pertama kali digelar.
Di sepanjang jalur, suara jidor berpadu dengan tepuk tangan penonton. Jalan sehat yang biasanya sederhana, kini berubah rasa menjadi festival budaya. Energi warga meluap, menandakan bahwa budaya memang bisa menjadi vitamin yang menyegarkan raga dan jiwa.
Tak kalah meriah, hadir tiga kesenian reog lokal, yakni Sardulo Budoyo dari Dusun Pandansari, Singo Budoyo Dari Dusun Tukum Kidul, dan Condro Kirono dari Perumahan Tukum Indah. Penampilan gagah para penari dengan topeng singa barong bukan hanya hiburan, melainkan pernyataan bahwa tradisi rakyat tetap hidup dan terus diwariskan.
Setiap dusun memberi makna melalui gunungan mereka. Pandansari dengan padi emas simbol ketahanan pangan. Pandanwangi menyebarkan aroma hasil bumi, tanda kebajikan. Krajan, pusat desa, menyuguhkan kerapian simbol persatuan. Tukum Kidul dengan ragam hasil bumi mencerminkan harmoni dalam keberagaman. Munder dengan gunungan menjulang tinggi melambangkan cita-cita yang berpijak pada akar budaya.
Kirangan Tumben pun terasa seperti laboratorium kebudayaan. Anak-anak yang ikut berjalan tidak hanya sehat jasmani, tetapi juga belajar mengenali akar budayanya. Mereka menyaksikan langsung bagaimana tradisi bisa dirawat di tengah era digital.
“Desa sehat bukan hanya ketika warganya bugar jasmani, tapi juga ketika budaya dan kebersamaannya tetap hidup. Itulah yang ingin kami rawat lewat Kirangan Tumben,” tambah Cak Santo.
Suasana di Pendopo Mangundiharjo kian ramai ketika peserta tiba. Pendopo yang megah itu menjadi saksi bagaimana olahraga dan budaya bisa berpadu. Di halaman pendopo, lima gunungan disusun rapi, menunggu detik-detik perebutan yang selalu ditunggu warga.
Saat tanda dimulai, warga berebutan mendekati gunungan. Ada yang menggenggam jagung, ada yang meraih seikat sayur, ada pula yang puas dengan sehelai daun. Senyum mereka seragam dengan penuh keyakinan bahwa yang didapat adalah berkah.
Bagi warga, perebutan ini bukan soal siapa dapat paling banyak. Melainkan tentang keyakinan bahwa berbagi rezeki akan membawa keselamatan bersama. Inilah wajah asli gotong royong Nusantara, yang diwariskan tanpa henti dari generasi ke generasi.
Kirangan Tumben juga menjadi ruang temu antar generasi. Para sesepuh melihat tradisi ini hidup kembali dengan mata berbinar, sementara anak muda mengabadikan momen lewat gawai. Tradisi dan modernitas berpadu tanpa saling meniadakan.
“Kalau bukan kita yang merawat, siapa lagi? Tradisi adalah akar, dan bangsa tanpa akar akan mudah tumbang,” tutur Cak Santo lirih, seolah menitip pesan pada generasi penerus.
Kirangan Tumben pun layak disebut pesta rakyat sekaligus pencerahan bangsa. Ia mengajarkan bahwa kemajuan tidak berarti meninggalkan tradisi, melainkan menumbuhkan peradaban dengan menghormati akar sejarah.
Di tengah arus globalisasi, Desa Tukum memberikan teladan, yaitu bagaimana jalan sehat bisa dikemas menjadi pesta budaya, bagaimana olahraga bisa berjalan beriringan dengan seni, dan bagaimana syukur bisa diwujudkan dalam gotong royong.
Dari Desa Tukum, pesan besar mengalir: sehat itu bukan hanya tubuh yang kuat, tapi juga budaya yang kokoh. Lima gunungan, tiga reog, kostum zaman dulu, dan ribuan langkah warga adalah harmoni kehidupan yang menyatukan.
Kirangan Tumben akhirnya bukan sekadar tradisi lokal. Ia adalah refleksi nasional. Bahwa kekuatan bangsa ada pada akar budaya, kebersamaan, dan rasa syukur. Dari Pendopo Mangundiharjo di sebuah desa kecil di Lumajang, lahir spirit untuk Nusantara.
0 Response to "159 Tahun Jejak Budaya, Kirangan Tumben Jadi Warisan Hidup Desa Tukum"
Posting Komentar