Makrifat Sang Diri Sejati
Wahai saudaraku. Kosong adalah sebuah ungkapan yang menunjukkan tidak adanya sesuatu. Sejak awal hingga akhir seharusnya tetaplah seperti itu. Hanya saja dalam kenyataan waktu yang bergulir, maka keadaan kosong ini bisa berubah, alias bisa saja ada isinya. Dan jika itu sampai terjadi, artinya tidak lagi bisa disebut kosong, alias sudah berisi.
Nah, hal ini jika dikaitkan dengan kondisi seseorang, maka yang
disebut mengosongkan diri itu adalah berhasil menghilangkan segala yang ada di
dalam diri sendiri. Di antaranya seperti ego, ke-aku-an diri, dan beragam jenis
hasrat keinginan. Akal pikiran, bahkan perasaan pun harus menjadi “nol” untuk
bisa disebut kosong. Karena itulah diperlukan tingkat penyerahan diri yang
tinggi, alias sepenuhnya. Dan siapapun bisa mewujudkannya, asalkan ia tekun
dalam mengasah dirinya – secara lahir batin.
“Untuk dapat merasakan pencerahan dan
meraih kebijaksanaan, kau harus mengosongkan dirimu.
Hilangkanlah pendapat, rasa dan
spekulasi agar dirimu selalu dalam ketenangan.”
Ya. Untuk bisa mengosongkan diri, maka diperlukanlah kesadaran
diri terlebih dulu. Sikap ini adalah jalan terbaik untuk bisa meraih ketenangan
yang menjadi syarat utama untuk bisa mencapai kekosongan yang sejati. Adapun
mengenai caranya, maka seseorang harus mampu menghancurkan lima hal demi
membangun lima hal. Yaitu:
1. Hancurkan Zahir (tampak,
nyata) lalu jadikan Nafs (Jiwa).
2. Hancurkan Nafs (Jiwa)
lalu jadikan Qalb (Hati).
3. Hancurkan Qalb (Hati) lalu jadikan Nur (Cahaya).
4. Hancurkan Nur (Cahaya)
lalu jadikan Sir (Rahasia).
5. Hancurkanlah Sir (Rahasia)
lalu jadikan ANA (AKU).
Jadi, ketika bisa memenuhi kelima syarat di atas, maka
bertemulah kita secara wujud di dalam wujud, sifat di dalam sifat, rahsa di dalam rahsa, goib di dalam goib,
hakekat di dalam hakekat, dan cinta di dalam cinta. Semuanya tampak dengan
jelas dan sangat dekat, yang membuat keadaan diri bisa meningkat dari satu
level ke level yang lainnya. Terus seperti itu hingga merasa cukup atau
dihentikan oleh Yang Maha Kuasa.
Dan seorang itu harus pula menyatukan dirinya dengan SANG DIRI
SEJATI (manunggal).
Inilah tauhid yang
sesungguhnya, yang dapat terwujud hanya jika telah berhasil melepaskan segala
sesuatu kecuali DIRI-NYA. Peniadaan diripun haruslah ada, dengan terlebih dulu
mengosongkan diri atau bahkan telah melupakan diri sendiri.
Catatan: Ada dua jenis tauhid,
yaitu tauhid rububiyah dan tauhid uluhiyah. Tauhid rububiyah adalah
mengesakan-NYA dalam lima perkara, yaitu Dzat Sifat-NYA, Hakekat-NYA,
Kekuasaan-NYA, Penciptaan-NYA, dan Pengaturan-NYA. Sedangkan tauhid uluhiyah itu
sendiri adalah mengesakan segala bentuk amal dan peribadatan hanya kepada-NYA
saja, seperti sembahyang, berdo’a, meminta, berderma, tawakal, menyembelih hewan, bernadzar,
cinta, dan sebagainya, yang semuanya itu harus di lakukan sesuai dengan
tuntunan dari-NYA pula (yang bisa diketahui melalui perantara dari para
Utusan-NYA). Makanya bisa dikatakan bahwa tauhid uluhiyah itu adalah bentuk
konsekuensi dari tauhid
rububiyah. Dan keduanya pun harus menjadi satu kesatuan di dalam
diri seseorang agar terciptalah keseimbangan.
Untuk itulah, dalam bahasa Arab maka istilah “tauhid” ini berarti
menyatukan, memadukan, dan mengintegrasikan. Sehingga manakala seseorang
memiliki kemampuan tauhid,
maka ia berhak menyandang gelar sebagai Manusia. Manusia disini artinya diri
yang telah sempurna lahir dan batinnya. Juga pribadi yang telah sadar dan
memahami tentang siapakah dirinya sendiri dan siapa pulakah Tuhannya.
Namun, untuk bisa menjadi Manusia yang sejati, maka sesuai
dengan makna tauhid di
atas, siapapun harus bisa menyatukan dirinya dengan SANG DIRI SEJATI (manunggal). Dan hanya ada
satu jalan yang paling logis, yaitu dengan mengosongkan diri terlebih dulu
sebagai jalan untuk bisa meniadakan diri (fana).
Dan hilangkanlah perasaan sebagai entitas yang solid atau sesosok pribadi yang
utuh dan mandiri, karena sesungguhnya yang seperti itu tidaklah ada.
“Dirimu hanyalah
ketiadaan di dalam keadaan.
Keberadaan ditengah-tengah
ketiadaan.“
Sungguh, inilah kenapa sifat merasa itu sangat bertentangan dengan makrifat. Dimana keadaan yang fana atau meniadakan diri itu adalah tahap awal untuk bisa menuju makrifat. Dan ke-fana-an itu bisa terwujud hanya dengan terlebih dulu mengosongkan diri. Artinya tidak ada apa-apa lagi, termasuk perasaan yang terbesit, kecuali hanya DIA Yang Tunggal saja.(*)
0 Response to "Makrifat Sang Diri Sejati"
Posting Komentar